Hagia Sophia

31 March 2023

Terkait Penurunan Jumlah Penduduk, Wanita Jepang Tidak Mau Disalahkan

Ilustrasi Jepang diterpa penurunan angka kelahiran. (Foto: Kyodo/AP Photo)

Pemerintah Jepang kini menempatkan penanganan terhadap penurunan populasi sebagai prioritas utama. Mengingat, imbas banyak warganya enggan memiliki anak, jumlah populasi di Jepang kini anjlok. Menyikapi itu, perempuan menyuarakan, tak seharusnya mereka disalahkan atas anjloknya angka kelahiran.

Diketahui, Jepang mencatat kurang dari 800 ribu kelahiran tahun lalu. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.

Menanggapi tren penurunan populasi tersebut, Perdana Menteri Fumio Kishida, memperingatkan penurunan populasi tersebut berisiko mengancam fungsi masyarakat Jepang. Seiring itu, Jepang memiliki rasio tertinggi wanita berusia 50 tahun yang tidak pernah memiliki anak. Hal itu memicu perdebatan di linimasa Twitter, berkenaan dengan 'tidak memiliki anak seumur hidup'.

Seorang warga Jepang, Tomoko Okada (47), mengaku sudah lama merasa malu karena tidak memiliki anak. Awalnya ia ragu untuk mengklik topik yang sedang tren di Twitter lantaran takut akan rentetan kritik yang biasa.

Namun sebaliknya, ia menemukan sebagian besar diskusi justru simpatik dengan para wanita yang memutuskan untuk tidak berkeluarga.

"Dulu saya sangat percaya bahwa melahirkan adalah hal yang 'normal' untuk dilakukan," kata Okada yang kini bekerja penulis lepas dikutip dari Japan Today, Kamis (30/3/2023).

Ia sempat mencoba layanan perjodohan, berharap bisa mendapatkan pasangan hidup, namun tak kunjung berhasil. Ia merasa bersalah ketika ayahnya meminta cucu saat Hari Ayah.

Namun melihat maraknya suara perempuan Jepang di Twitter, Okada kini menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan cara hidupnya.

Rendahnya angka kelahiran memang menjadi masalah sangat akut di Jepang. Kishida telah menjanjikan kebijakan untuk meningkatkan niat warga untuk berkeluarga, misalnya dengan memberikan bantuan dana untuk keluarga, akses pengasuhan anak yang lebih mudah, dan lebih banyak jatah cuti untuk orang tua.

Namun pada kabinet Kashida yang terdiri dari 19 anggota, hanya dua di antaranya adalah perempuan. Walhasil, sebagian besar yang terlibat dalam perdebatan terkait meningkatkan angka kelahiran adalah laki-laki. Hal itu membuat banyak perempuan merasa dikesampingkan, bahkan diserang.

"Jangan salahkan wanita atas rendahnya angka kelahiran," cuit Ayako, seorang warga Tokyo berusia 38 tahun yang tidak memiliki anak.

Kepada AFP, Ayako menyebut pusat permasalahan Jepang saat ini sebenarnya adalah peran gender tradisional. Terkait itu, sebuah survei pemerintah pada 2021 menemukan bahwa wanita Jepang menghabiskan waktu sekitar empat kali lebih lama untuk pekerjaan rumah dan mengasuh anak daripada pria, bahkan dengan lebih banyak suami yang bekerja dari rumah.

Ayako blak-blakan menyuarakan keresahannya di dunia maya. Ketika ia berbicara tentang isu ini di dunia nyata, ia cenderung dijauhi.

"Sulit untuk meninggikan suaramu di dunia nyata. Aku merasa wanita menerima begitu banyak kritik hanya karena mengungkapkan pendapat mereka. (Namun di media sosial) saya sering terkejut menemukan orang lain dengan pandangan yang sama," ungkapnya.

























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Curhat Wanita Jepang Imbas Populasi Nge-drop: Jangan Salahkan Kami!"