Ilustrasi minuman berpemanis dalam kemasan. (Foto: iStock) |
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) buka suara soal penundaan cukai minuman berpemanis hingga 2024. Menurutnya, hal ini malah memperbesar risiko kesehatan yang mengintai masyarakat luas.
CISDI menilai alasan pemerintah menunda cukai minuman berpemanis terkait kondisi industri makanan dan minuman belum stabil pasca pandemi COVID-19, tidak bisa diterima. Pasalnya, cukai dipungut bukan dari kebutuhan pokok, tetapi minuman berpemanis seperti teh, susu berpemanis, soda, hingga minuman serbuk dalam kemasan.
"Tahun lalu pemerintah juga menunda dengan dalih yang sama. Padahal, kondisi kesehatan juga erat hubungannya dengan kondisi ekonomi. Tingginya beban biaya kesehatan sebesar Rp 108 triliun (BPJS, 2019) yang diakibatkan penyakit terkait konsumsi gula, justru seharusnya membuat cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi kebijakan yang penting untuk segera diterapkan di Indonesia," ungkap Calista Segalita, Project Lead Food Policy CISDI.
Calista menjelaskan bahasan cukai MBDK sebenarnya sudah muncul sejak 2016, sehingga dalam dua tahun terakhir CISDI mengupayakan desakan penetapan cukai secara lebih intensif.
Termasuk membuat petisi yang didukung lebih dari 16 ribu tanda tangan. Petisi ini juga ditujukan untuk berbagai pemangku kepentingan termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) pada November 2022.
"Cukai MBDK bahkan sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023. Tapi, lagi-lagi pemerintah menunda pengesahannya tahun ini. Pemerintah seolah abai dengan fakta yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis terus meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir," kata Calista.
Calista menambahkan kenaikan konsumsi minuman berpemanis ini sejalan dengan peningkatan signifikan pada prevalensi obesitas dan diabetes serta penyakit tidak menular lain di Indonesia. Kasus obesitas di Indonesia misalnya, naik dalam kurun 10 tahun terakhir. Dibandingkan data 2007 di 10,5 persen, Riskesdas 2018 mencatat prevalensi kasus obesitas mencapai 21,8 persen di 2018.
Dampaknya, beban kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular juga meningkat. Salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan beban ini adalah konsumsi minuman manis, khususnya MBDK.
"Konsumsi MBDK berlebih terbukti berisiko meningkatkan kejadian obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker dan gizi kurang. Karena itu, pembatasan konsumsi MBDK, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik semakin mendesak diberlakukan," kata Calista.
Bahkan, menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,25 triliun per tahun. Potensi tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia yang alokasi anggarannya selama ini masih sangat minim, khususnya terkait penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.
"Segera memberlakukan pengenaan cukai untuk produk MBDK minimal sebesar 20 persen berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5 persen," pinta CISDI.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Protes di Balik RI Tunda Cukai Minuman Manis saat Obesitas-Diabetes Melonjak"