Warga China kesulitan dapat obat COVID-19. (Foto: Getty Images/Omer Messinger) |
Menggilanya infeksi virus Corona di China membuat warga kesulitan mendapatkan akses obat untuk penyakit tersebut. Belum lagi, negara itu membatasi impor obat dan vaksin dari luar negeri untuk penanganan COVID-19.
Diberitakan Reuters, sejauh ini China mengandalkan vaksin dan obat buatan dalam negeri untuk memerangi pandemi. Obat anti-virus COVID-19 Pfizer (PFE.N) Paxlovid tersedia di China tetapi sangat sulit diperoleh melalui saluran resmi.
Molnupiravir yang juga diandalkan sebagai obat COVID-19 belum bebas digunakan meski sudah disetujui pemerintah China.
Pemerintahan Xi Jinping tidak memberikan data tentang berapa banyak perawatan yang disediakan dan di mana obat COVID dapat dibeli, memaksa sebagian besar pasien untuk mengandalkan laporan media, dari mulut ke mulut atau bahkan mengimpor melalui saluran tidak resmi di pasar gelap.
Mereka yang berhasil menemukan pemasok sering berakhir dengan membayar harga selangit, karena permintaan melonjak di tengah gelombang raksasa infeksi COVID-19.
Guangzhou Daily melaporkan pada akhir Desember bahwa sebagian besar pasien di rumah sakit United Family Healthcare di Guangdong membayar hingga 6.000 yuan atau sekitar Rp 13 juta sebelum mendapatkan Paxlovid.
Chen Jun, seorang penduduk Provinsi Hainan selatan China, mengatakan dia membeli Paxlovid dari pemasok yang dikenalkan oleh seorang mitra bisnis, yang mengatakan bahwa obat tersebut berasal dari Hong Kong.
Chen membayar 20.000 yuan atau Rp 44 juta pada 2 Januari untuk dua kotak Paxlovid orang tuanya yang terinfeksi COVID dan memiliki riwayat kanker. Dia berkata bahwa banyak orang yang bahkan harus membayar dua kali lipat dari harga itu.
"Anda akan berpikir itu murah saat anggota keluarga Anda membutuhkan, karena apapun lebih baik daripada pergi ke rumah sakit sekarang," katanya.
"Saya kenal orang yang membayar 20.000 yuan untuk satu kotak obat," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Ada Apa Xi Jinping? Warga China Teriak Tak Bisa Akses Obat COVID-19"