Hagia Sophia

26 April 2023

Cuaca Panas di Indonesia Tidak Ada Kaitannya dengan Gelombang Panas Asia

Cuaca panas di Indonesia bukan karena gelombang panas (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Masyarakat mengeluhkan cuaca super panas yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Badan Klimatologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu maksimum harian sempat mencapai 37,2 derajat Celcius di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat, Tangerang Selatan, pada 17 April 2023.

Meski demikian, suhu tinggi tersebut terpantau sudah turun di sejumlah wilayah dengan rata-rata 34-36 derajat Celcius pada Selasa (25/4/2023). Data terbaru BMKG melaporkan, pada 24 April pukul 07.00 WIB sampai dengan 25 April 2023 pukul 07.00 WIB, suhu maksimum harian di Indonesia berada pada 35,6 derajat Celcius, terjadi di Tjilik Riwut, Kalimantan Tengah dan Mutiara Sis-Al Jufri, Sulawesi Tengah.

Berikut beberapa titik dengan suhu tertinggi dalam periode waktu tersebut, dikutip dari akun Instagram @infobmkg, Selasa (25/4/2023):
  • Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut: 35,6 derajat Celcius
  • Stasiun Meteorologi Mutiara Sis-Al Jufri: 35,6 derajat Celcius
  • Stasiun Meteorologi Sanggu: 35,5 derajat Celcius
  • Stasiun Meteorologi Beringin: 35,5 derajat Celcius
  • Stasiun Geofisika Malang: 35,4 derajat Celcius
Cuaca panas RI bukan karena gelombang panas

Sementara Indonesia mengalami cuaca terik, sejumlah wilayah Asia khususnya India tengah mengalami serangan heatwave atau gelombang panas. Banyak yang menduga, cuaca panas di Indonesia juga dipicu hal yang sama.

BMKG menjelaskan, gelombang panas adalah periode cuaca (suhu) panas yang tidak biasa yang biasanya berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih yang disertai dengan kelembapan udara yang tinggi (sesuai standar Badan Meteorologi Dunia atau WMO). Suatu lokasi dianggap mengalami fenomena gelombang panas apabila mencapai suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik.

Sebagai contoh, sebuah lokasi mengalami kenaikan suhu 5 derajat Celcius lebih panas dari rata-rata klimatologis suhu maksimum dan setidaknya terjadi selama lima hari berturut-turut. Jika suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-rata dan tidak berlangsung lama, maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut cuaca panas sebagai sebuah fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Oleh karenanya, potensi suhu udara panas juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.

"Sedangkan secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat Celcius melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari tepatnya pada tanggal 17 April 2023. Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34 hingga 36 derajat Celcius di beberapa lokasi," jelas Dwikorita dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Selasa (25/4/2023).

Alasan Indonesia tidak mengalami gelombang panas

Dikutip dari akun Instagram BMKG, Indonesia tidak mengalami gelombang panas karena alasan sebagai berikut:
  • Suhu panas di wilayah Indonesia tidak memenuhi definisi gelombang panas yang ditetapkan oleh WMO.
  • Suhu panas yang terjadi merupakan fenomena wajar di bulan April dan Mei karena pada bulan-bulan tersebut terjadi peningkatan suhu maksimum harian yang biasa terjadi setiap tahun.
  • Lonjakan suhu maksimum 37,2 derajat Celcius hanya terjadi satu hari di satu lokasi, selanjutnya suhu maksimum tertinggi di Indonesia secara umum berada dalam kisaran 34-36 derajat Celcius yang merupakan kisaran normal klimatologi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
  • Kini Indonesia tengah memasuki musim kemarau, dominasi angin monsun Australia. Adapun karakteristik musim kemarau yaitu bersifat kering, kelembapan udara kurang, cuaca cenderung cerah dan kurang tutupan awan, serta menyebabkan intensitas radiasi matahari optimal diterima permukaan.





























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Cuaca Terik RI Tak Terkait Gelombang Panas Asia, BMKG Jelaskan Alasannya"