Kualitas udara di Tangsel dan DKI Jakarta masuk kategori tidak sehat. (Foto: Alethea Pricila/detikHealth) |
Kualitas udara pagi di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya Tangerang Selatan hingga DKI Jakarta, masuk lima provinsi teratas kategori merah atau tidak sehat. Berdasarkan pantauan detikcom terakhir di IQAir pada Kamis (25/5/2023) pukul 09:41 WIB, konsentrasi PM 2.5 secara nasional enam kali lipat lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jika dirinci, konsentrasi PM 2.5 di Tangsel paling tinggi, menempati peringkat satu terburuk di RI, dengan nyaris 30 kali lipat melampaui batas aman pedoman WHO. Mulai pukul 8:00 WIB kualitas udara di Tangsel masuk kategori sangat tidak sehat dengan air quality index 243.
Sementara di Jakarta trennya tidak jauh berbeda, yakni 12 kali lipat lebih tinggi dari standar WHO. Kualitas udara DKI mulai memburuk masuk kategori merah di pukul 8:00 WIB, risikonya meningkat dari semula di pukul 03:00 sampai 07:00 WIB hanya berada di kategori tidak sehat untuk sekelompok orang sensitif.
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Prof Budi Haryanto, ada beragam pemicu di balik kualitas udara yang memburuk di jam-jam tertentu. Salah satunya berkaitan dengan pencemaran dari kendaraan bermotor.
Di DKI, Budi menyebut sumber polutan udara bahkan 50 hingga 70 persen berasal dari kendaraan bermotor. Jika terjadi kemacetan dengan kecepatan rata-rata di 30 km/jam saja, memunculkan pembakaran tidak sempurna.
"Kalau kualitas bensinnya kan sekarang ya masih tidak memenuhi syarat, itu akan mengemisikan pencemaran, nah jadi jumlah kendaraan bermotor banyak, terus kemudian macet dan polusi udaranya tinggi," terang dia saat dihubungi detikcom Kamis (25/5/2023).
Ada Kemandekan Udara
Dalam beberapa hari terakhir, Budi menilai ada kemandekan udara yang artinya tidak terurai ke atas maupun ke samping. Efeknya, membuat konsentrasi PM 2.5 menjadi lebih tinggi.
Kemandekan udara disebutnya berkaitan juga dengan kecepatan angin berkurang.
"Biasanya kan terurai oleh kecepatan angin terus kemudian embun yang di atas itu tercairkan oleh matahari. Perbedaan suhu jadi tidak bisa terurai ke atas," sambung dia.
"Terus tidak terurai ke samping karena kekuatan anginnya rendah, jadi di bawah sumber pencemarannya banyak, kemudian tidak bisa terurai ke kanan, kiri, sehingga numpuk jadi tinggi," sebutnya.
Data AQair menunjukkan kualitas udara jauh lebih baik di siang hari. Kemungkinan ini disebut Budi berkaitan dengan penguraian yang mulai terjadi imbas matahari.
"Nah tapi kemudian matahari bisa menguraikan awan-awan yang dekat sekali, dekat dengan permukaan bumi, dekat dengan DKI, dan itu kemudian terpanaskan dan terurai, anginnya kemudian berlanjut dengan baik maka terjadi penurunan konsentrasi," sambungnya.
Di sisi lain, kemacetan dan mobilitas yang mulai berkurang juga bisa menjadi salah satu faktornya.
Dikutip dari IQAir, ada sejumlah penyebab tingginya tingkat polusi di Tangerang Selatan. Dengan jarak yang sangat dekat ke DKI, Tangerang Selatan akan melihat banyak masalah polusi serupa seperti Jakarta, meskipun yang perlu diperhatikan adalah tingkat PM2.5 hampir dua kali lipat dari Jakarta.
Penyebab utamanya juga dikaitkan dengan tingkat emisi kendaraan tinggi, banyak orang yang melakukan mobilitas bolak-balik Jakarta terkait pekerjaan. Selain itu, arus kendaraan yang konstan juga disebut akan menghasilkan konsentrasi polutan dan kabut berbahaya tinggi semakin berkumpul atau terakumulasi.
Khususnya di area lalu lintas padat, serta terjebak di dalam jalan dan gedung tinggi kota, tidak dapat menyebar dan menyebabkan polutan seperti nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida ( SO2) akan sangat menonjol. Keduanya dihasilkan dalam jumlah tinggi dari kendaraan, khususnya kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar fosil seperti solar.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Polusi Jakarta-Tangsel Lagi 'Ugal-ugalan', Ada Apa Sih?"