Ilustrasi rokok. (Foto: Getty Images/simonkr) |
Sudah bukan rahasia lagi bahwa merokok dapat memicu berbagai gangguan kesehatan. Tidak hanya penyakit ringan seperti batuk, merokok juga bisa menyebabkan gangguan kesehatan parah yang dapat mengancam nyawa.
Hal itulah yang dialami Ariyanto, pekerja konstruksi yang mengidap penyakit paru kronik (PPOK) akibat kebiasaan merokok yang telah ia lakoni sejak duduk di bangku SMP.
"Saya perokok berat. Saya sejak tahun 1974 SMP kelas dua saya sudah merokok, 2-3 bungkus per hari," ungkapnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (29/5/2023).
Namun Ariyanto tidak pernah menyangka kebiasaan yang ia jalani itu akan mengancam kesehatannya di kemudian hari. Hal tersebut ia rasakan pada bulan Februari lalu.
"Pada Februari yang lalu saya anfal dan dilarikan ke IGD. Minggu kedua Februari, barulah saya teridentifikasi PPOK grade D," ungkapnya.
Ariyanto mengungkapkan sebelum didiagnosa terjangkit PPOK, dirinya sudah mengalami sejumlah gejala.
"Saya merasa batuk berkelanjutan, sesak napas, dan kelelahan saat beraktivitas. Sebetulnya sudah saya rasakan enam bulan sebelum Februari. Tapi saya merasa seperti kelelahan atau batuk biasa karena efek pekerjaan saya," terangnya.
Kelompok Kerja Asma dan PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Triya Damayanti, Sp P(K), PhD menyampaikan kisah Ariyanto itu memang kerap dialami oleh pasien PPOK lainnya. Banyak dari mereka yang keliru dan tidak meminta pertolongan medis secara langsung.
"Pasien mungkin keliru menganggap gejala PPOK sebagai proses penuaan normal, kondisi kebugaran fisik pasien, atau konsekuensi dari merokok," tuturnya.
Lebih lanjut, Triya mengatakan merokok merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu PPOK.
"Di negara-negara berpenghasilan rendah-sedang, 30-40 persen kebiasaan merokok berkontribusi pada kasusPPOK," katanya.
Triya menjelaskan gejala PPOK umumnya berupa batuk yang berkelanjutan (kronik), sesak napas, dan produksi dahak/sputum yang berlebihan. Namun biasanya, pasien tidak akan merasakan gejala tersebut hingga menginjak usia 40-an.
"Pada akhirnya setelah bertahun-tahun baru muncul pada usia lebih dari 40 tahun karena secara normalnya turun fungsi parunya. Ditambah lagi faktor risiko misalnya merokok, polusi itu akan makin memperburuk lagi," jelasnya.
Triya pun mengimbau pasien untuk segera melakukan pengecekan medis saat mengalami gejala-gejala yang telah disebutkan. Tujuannya, untuk mengetahui apakah pasien mengidap PPOK atau penyakit lainnya.
"Batuk misalnya. Ada batuk yang infeksi, ada yang non infeksi. Terus batuknya disertai sesak nggak, kemudian ada dahaknya nggak. Di situlah peran klinisi atau dokter untuk mendiagnosis banding sehingga nanti ketemu diagnosisnya apa," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Merokok 3 Bungkus Sehari Sejak SMP, Pria Ini Curhat Paru-parunya Ambyar"