Anak muda di Jepang. (Foto: Issei Kato/Reuters) |
Jepang diterpa krisis populasi imbas banyak warganya enggan memiliki dan membesarkan anak. Menyikapi itu, kini pemerintah Jepang berencana mereformasi undang-undang ketenagakerjaan, demi mempermudah para pasangan untuk bekerja dan berbagi pekerjaan rumah tangga. Dengan harapan, dapat mencegah penurunan tajam jumlah kaum muda di negaranya.
Dikutip dari Japan Today, Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut, Jepang kini memiliki kesempatan terakhir untuk mengatasi masalah penurunan angka kelahiran. Ia khawatir, kondisi tersebut dapat merugikan pertumbuhan ekonomi dan jaminan sosial.
Reformasi ketenagakerjaan tersebut akan memberikan kesempatan untuk para pekerja memilih gaya kerja yang lebih fleksibel. Misalnya, dengan tiga hari libur dalam seminggu. Hal itu diungkapkan oleh pihak yang tak ingin diungkap identitasnya, menjelaskan kepada Reuters.bicara kepada media, kepada Reuters.
Selain itu, peraturan yang lebih lanjut akan diadopsi pada tahun fiskal 2024 juga akan membatasi waktu lembur. Hal ini ditujukan kepada mereka yang harus melakukan perawatan atau menjalani perawatan kesuburan sembari tetap bekerja.
Peraturan lebih lanjut yang akan diadopsi pada tahun fiskal 2024 akan membatasi waktu lembur. Rencana baru ini juga ditujukan bagi mereka yang melakukan perawatan atau menjalani perawatan kesuburan untuk tetap bekerja. Di samping itu, rancangan tersebut berupaya memperbaiki jam kerja yang panjang, sehingga kedua orang tua dapat berbagi pekerjaan rumah tangga tanpa membebani pihak ibu secara tidak adil.
Pasalnya, salah satu yang disoroti masyarakat Jepang terkait krisis populasi adalah bagaimana para wanita kerap kali memikul beban kerja rumah tangga yang tidak proporsional. Dengan alasan, para pria bekerja berjam-jam secara tradisional di banyak perusahaan di Jepang.
Sebelumnya, Kishida juga sempat memprediksi bahwa pada 2030 mendatang, kaum muda di Jepang akan punah jika krisis populasi ini terus berjalan.
"Populasi kaum muda akan mulai menurun drastis pada tahun 2030-an. Jangka waktu hingga saat itu adalah kesempatan terakhir kita untuk membalikkan tren penurunan kelahiran," jelas Fumio Kishida yang dikutip dari Reuters.
Ditegaskannya, penurunan angka kelahiran di Jepang kini menjadi prioritas utama dalam pemerintahannya. Meskipun Jepang memiliki utang yang terhitung besar, pemerintahnya berencana mengalokasikan pengeluaran sebesar 3,5 triliun yen atau setara Rp 376 triliun untuk mendorong warga agar mau punya anak.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Ketir-ketir Jepang Warganya Ogah Punya Anak, Kaum Muda Diprediksi 'Punah' di 2030"