Pria obesitas berbobot 200 kg di Tangerang. (Foto: ANTARA FOTO/FAUZAN) |
Akhir-akhir ini, kasus obesitas santer terdengar di Tanah Air. Setelah kasus Muhammad Fajri (26), pengidap obesitas ekstrem yang memiliki bobot hingga 300 kg meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, kini kembali muncul kasus obesitas ekstrem dengan berat badan 200 kg di Tangerang dan Grobogan.
Obesitas memang terlihat menjadi salah satu masalah yang tak kunjung usai di Indonesia. Bahkan, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi obesitas terus mengalami tren kenaikan.
Prevalensi obesitas pada orang dewasa naik menjadi 35,4 persen pada Riskesdas 2018, dari sebelumnya 26,3 persen pada tahun 2013.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Banten, dr Ahmad Mekkah H, SpPD, MSc. MKes, menjelaskan bahwa pada kasus-kasus obesitas ekstrem di Indonesia, tren keberhasilan penanganan untuk menurunkan berat badan masih menemui kendala. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor.
"Kalau kita melihat dari televisi, pada obesitas yang berpotensi menimbulkan risiko, yang badannya besar sekali, indeks massa tubuhnya di atas 50, mungkin tindakan pembedahan sebagai alternatif yang membantu (menurunkan berat badan)," ujar dr Ahmad dalam podcast Dinas Kesehatan Kota Tangerang, Kamis, (6/7/2023).
Tingkat keberhasilan untuk menurunkan berat badan tergantung pada kasusnya. Namun, pada obesitas ekstrem, risiko mengalami penyakit lain akan tinggi dan mempengaruhi proses penurunan berat badan.
"Pada kasus Mas Fajri, yang saya lihat memang banyak penyulitnya pada infeksinya, seperti infeksi pada paru-paru, peradangan pada ekstremitas, kesulitan bernafas, yang mungkin akan terjadi sleep apnea, atau jantung koroner, karena kandungan lemaknya yang cukup tinggi sekali," tegasnya.
Pola Makan di Indonesia Jadi Sorotan
"Kalau di Indonesia itu kan, bahasanya, orang kalau belum ketemu nasi, makan banyak karbohidrat, belum makan katanya, atau, kita sekarang lagi diserang oleh banyak restoran cepat saji. Yang paling banyak mempengaruhi adalah pola makan," tegas dr Ahmad.
Terkait dengan pola makan tersebut, dr Ahmad juga menyoroti minuman manis berkalori tinggi yang marak dijumpai saat ini sebagai salah satu pemicu obesitas di Indonesia.
"Makanan dan minuman manis, sekarang kan banyak ya, minuman manis yang berkalori tinggi. Tanpa disadari itu yang memicu terjadinya obesitas," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "PAPDI Banten Singgung Kendala Penanganan Kasus Obesitas Ekstrem di RI"