Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo, SpOG. Foto: Vidya Pinandhita/detikHealth |
Di samping masalah pemenuhan gizi, perkawinan dini menjadi salah satu pemicu kasus anak stunting di Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan, setiap tahun ada 1,6 juta orang hamil di tahun pertama pernikahan. Namun 300 ribu bayi di antaranya mengalami stunting.
Tak hanya memiliki tubuh pendek, orang dengan stunting cenderung memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Di samping itu, stunting juga membuat seseorang lebih rentan terkena penyakit di usia dewasa. Terlebih jika pengidap stunting mengalami obesitas (central obese) di usia 45 tahun ke atas, besar risiko timbul diabetes, stroke, dan penyakit kardiovaskular lainnya.
"Orang yang usianya belum sampai 20 tahun itu kan masih tumbuh. Jadi ibarat pohon dia harus tumbuh tapi membesarkan juga bayinya dalam perut itu berat sekali," ungkap Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo, SpOG saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2023).
Stunting bukan satu-satunya risiko yang dihadapi pada kehamilan di usia dini. Lebih lanjut dr Hasto menjelaskan, perempuan yang hamil di usia muda misalnya di umur 15 atau 16 tahun, akan lebih mudah mengalami pengeroposan tulang ketika sudah menopause.
"Tulangnya ibunya itu diambil sama bayi yang ada di dalam perut. Jadi Anda ini kalau hamil di usia 15-16 tahun, sebetulnya tulang Anda lebih relatif keropos. Besok kalau Anda menopause, perempuan menopause, orang lain masih gagah dia sudah bungkuk. Orang lain kepleset di kamar mandi tidak apa-apa, Anda kepleset di kamar mandi patah tulangnya," bebernya.
"Jadi banyak sekali faktor yang membuat kerugian. Anaknya juga tidak tumbuh baik, anaknya juga stunting," pungkas dr Hasto.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "BKKBN Ingatkan Risiko Nikah Dini, Masih Ada Sederet Risiko Selain Stunting"