Ilustrasi dokter dibully (Foto: Getty Images/bymuratdeniz) |
Fenomena bullying di kalangan residen atau calon dokter spesialis belakangan jadi perbincangan hangat. Berbagai cerita dan kesaksian bermunculan. Keluhan yang dilaporkan beragam macam, dari kebiasaan 'plonco' hingga permainan penilaian yang berpengaruh di proses pendidikan.
Sosok (G) baru-baru ini juga ikut menceritakan apa yang dialami istrinya saat menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di salah satu fakultas kedokteran Indonesia. Tak lama setelah tiga bulan menjalani PPDS, istri disebut mengalami depresi.
Hingga kini, istrinya masih dalam proses pengobatan. G mengaku menjadi saksi awal mula istri sampai mengajukan pengunduran diri alias 'resign' dari PPDS lantaran disarankan psikiater untuk segera memulihkan trauma terlebih dulu.
Namun, permintaan tersebut ditolak pihak kampus, hingga akhirnya saat ini istri G berada di masa cuti.
"Sekarang istri saya nggak berniat untuk kembali ke kampus karena dia pasti akan jadi subjek bullying senior-seniornya. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Karena seniornya tahu bahwa istri saya melaporkan tindakan bullying tersebut ke pihak kampus," cerita G kepada detikcom Rabu (12/7/2023).
"Awal perundungan sudah terjadi sesaat setelah diterima di PPDS. Istri saya dan teman-teman seangkatannya sekitar 10 orang dikumpulkan oleh senior-senior di suatu tempat kemudian didoktrin aturan-aturan yang harus diikuti oleh mahasiswa residen seperti tidak boleh pulang sebelum senior pulang, harus respons 5 menit ketika di-WA, tidak boleh mengatakan 'tidak ada' ketika diminta suatu barang, tidak boleh mengatakan 'tidak bisa' ketika disuruh dan lain-lain."
Tidak sampai di situ, ia menyebut sang istri juga menerima perkataan kasar dan makian dari senior-senior yang sebenarnya tak pantas diutarakan. Pertemuan semacam ini juga disebutnya tidak diketahui oleh pihak kampus.
Kerugian yang didapat diakuinya bukan hanya dari beban tekanan mental dan fisik, melainkan secara materi.
"Biaya kuliah saja sudah berpuluh-puluh juta, ditambah sering harus menyediakan barang yang diminta senior 'at all cost'. Jika tidak, Anda akan dicibir oleh senior, dihukum dengan tugas tambahan dan sebagainya," cerita G.
Beban semacam itu semakin berat dilalui saat istri G, juga harus menyelesaikan tugas pekerjaan dari rumah sakit. Setiap hari, hanya ada sisa waktu istirahat sekitar dua hingga tiga jam dengan kebiasaan berangkat kampus pukul 5 pagi dan baru pulang pukul 11 atau 12 malam waktu setempat, beberapa kali bahkan sampai dini hari.
"Pernah meeting sampai dini hari hanya untuk mendengarkan omelan dari senior. Lalu jam 5 pagi harus kembali ke kampus atau RS," lanjutnya.
Akibat stres, dalam dua bulan bobot istri G bahkan menyusut 8 kilogram. Fenomena lain yang disinggung adalah bullying diyakininya bak sudah menjadi budaya, hanya kalangan 'darah biru' yang konon lolos dari kasus semacam ini.
Tidak tinggal diam, G sempat melapor terkait perlakuan bullying di PPDS dan saat itu langsung direspons dengan pemberian peringatan. Namun, sayangnya, lagi-lagi, bullying bak sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan.
Bahkan, dinormalisasi beberapa pihak.
"Sistem 'kakak asuh' dan 'adik asuh' di PPDS malah membuat senioritas semakin kuat. Bahkan cenderung disalahgunakan oleh senior-senior tersebut," ceritanya
"Perlu diketahui, orang-orang yg masuk PPDS itu merupakan trah 'darah biru'. Kalau Anda nggak punya keluarga spesialis atau backing jangan harap," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Cerita Suami soal Istri Tak Kuat Kena Bully saat PPDS, Depresi hingga Resign"