Hagia Sophia

02 February 2024

Ternyata Masih Ada Orang dengan IQ Tinggi yang Percaya Teori Konspirasi

Ilustrasi teori konspirasi. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Arkadiusz Warguła)

Selama dua dekade terakhir, ketertarikan masyarakat terhadap konspirasi meningkat. Alih-alih meyakini bukti ilmiah, tidak sedikit masyarakat yang mempercayai teori semacam ini, termasuk kelompok pintar atau mereka dengan kecerdasan dan IQ tinggi.

Sebuah riset baru-baru ini menunjukkan keduanya sebetulnya tak saling berkaitan. Pertama, orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi juga dilaporkan kerap menyebarkan teori konspirasi.

"Jadi ini bukan hanya soal kecerdasan, pendidikan belum tentu membuat Anda kebal teori konspirasi," sebut Darel Cookson, dosen senior psikologi di Nottingham Trent University, dikutip dari Channel News Asia, Kamis (1/2/2024).

Penelitian menunjukkan gaya berpikir seseorang berkaitan kepada keyakinan di balik teori konspirasi. Cara memproses informasi terbagi menjadi dua rute.

Salah satu rutenya adalah rute cepat dan intuitif yang lebih bersandar pada pengalaman pribadi serta firasat. Rute lainnya adalah rute yang lebih lambat dan analitis, ini mengandalkan pemrosesan informasi lebih elaboratif dan terperinci.

"Apa yang cenderung Anda lihat adalah bahwa orang-orang yang belum tentu lebih pintar tetapi lebih menyukai gaya berpikir analitis dan lebih berusaha, lebih tahan terhadap keyakinan konspirasi," tuturnya.

Misalnya, sebuah penelitian di Inggris pada 2014, penelitian menemukan mereka yang cenderung tidak menggunakan gaya berpikir penuh usaha, umumnya menggunakan pemikiran intuitif. Artinya, memilih kepercayaan lebih tinggi terhadap teori konspirasi.

Demikian pula temuan penelitian di 2022 pada 45 negara yang menggunakan tes refleksi kognitif. Riset tersebut mengukur keterlibatan dalam berpikir analitis terkait tiga pertanyaan.

Penelitian ini menemukan bahwa partisipan yang menggunakan gaya berpikir non-intuitif, cenderung tidak mendukung teori konspirasi COVID-19.

"Berpikir kritis adalah keterampilan yang berharga, khususnya dalam pendidikan, dan telah terbukti melindungi kerentanan terhadap keyakinan konspirasi. Hal ini mungkin karena gaya berpikir yang lebih sulit ini memberikan waktu bagi orang untuk mengidentifikasi ketidak-konsistenan dalam teori dan mencari sumber daya tambahan untuk memverifikasi informasi."

Sebuah studi meta-analisis di 2021 menunjukkan gaya berpikir intuitif tidak ada hubungannya dengan kecerdasan. Artinya, orang yang sangat cerdas pun bisa rentan percaya terkait keyakinan konspirasi jika mereka lebih cenderung kembali ke gaya berpikir cepat dan intuitif.

Penelitian menunjukkan kepercayaan terhadap teori konspirasi diprediksi oleh bias kognitif yang berasal dari ketergantungan jalan pintas mental seseorang saat memproses informasi. Pertama, keyakinan konspirasi diprediksi oleh keyakinan salah bahwa peristiwa besar pasti mempunyai konsekuensi besar.

Hal ini dikenal dalam psikologi sebagai bias proporsionalitas.

"Sulit untuk menerima bahwa peristiwa-peristiwa yang mempunyai dampak yang mengubah dunia (misalnya, kematian seorang presiden atau wabah COVID-19) sebenarnya dapat disebabkan oleh sebab-sebab yang "kecil" (misalnya, seorang pria bersenjata atau virus)," sambungnya.

"Inilah sebabnya gaya berpikir yang bergantung pada firasat dan intuisi dapat membuat orang mendukung teori konspirasi," lanjut dia.



























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Terungkap Alasan Ada Orang IQ Tinggi Masih Percaya Teori Konspirasi"