Bumi Mendidih, Cuaca Ekstrem Makin Parah dan Sering Terjadi. Foto: detikcom |
Kenaikan suhu Bumi akibat pemanasan global memicu intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem. Parahnya, Bumi saat ini bukan lagi memanas, melainkan mendidih.
"Suhu saat ini, dari September, Oktober, November, Desember (2023) ya, rata-rata bulan ini itu sudah naik di atas 1,5 derajat celsius. Di bulan tersebut sudah 1,6-1,7 (derajat celcius suhu Bumi). Artinya apa? Ini sudah signifikan naik," kata Dr. Erma Yulihastin Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung BJ. Habibie, Rabu (31/1).
Untuk diketahui, batas kenaikan temperatur Bumi 1,5 derajat celsius merupakan kesepakatan Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang secara efektif ditandatangani pada 4 November 2016. Sejumlah negara awalnya sepakat menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius di atas tingkat di masa pra-industrialisasi.
Angka tersebut kemudian berubah menjadi 1,5 derajat atas usulan sejumlah negara berkembang dan kepulauan. Pasalnya, negara-negara itu akan menghadapi risiko lebih besar jika kenaikan pemanasan global di atas 1,5 derajat celsius.
"Itulah mengapa, PBB mengatakan, ini bukan era Bumi memanas lagi. Global warming, no. This is global boiling. Ini sudah fase mendidih," kata Erma.
Dr. Erma Yulihastin Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN. Foto: Rachmatunnisa |
Suhu Laut Mengontrol Cuaca
Pemanasan global juga turut memicu menghangatnya lautan, dan temuan terbaru memperlihatkan, perubahan suhu permukaan laut berkontribusi mengontrol cuaca. Hal ini tampak jelas terjadi di Indonesia, mengingat 70% wilayah negara kita adalah lautan.
"Dulu tidak terpikir suhu permukaan laut mengontrol cuaca. Sehingga ketika NASA, NOAA, badan-badan besar cuaca dunia atau atmosfer dunia itu secara global itu membuat model prediksi cuaca, mereka hanya mengganti suhu permukaan laut sekali saja karena berpikir, masa sih suhu permukaan laut berubah-ubah? Jadi kalau memprediksi 10 hari ke depan, suhu permukaan laut itu sekali saja, inputnya tidak pernah diganti. Ini adalah sebuah kesalahan," papar Erma.
Itu sebabnya pula, prakiraan cuaca untuk Indonesia akurasinya tidak baik. Ilmuwan menyadari bahwa ada sesuatu yang terlewat, yakni luput memperhitungkan perubahan suhu permukaan laut. "Dia bisa bervariasi atau berubah. Ketika (perubahan suhu) itu dimasukkan, dengan mengupdate (suhu), model prakiraan ketika dijalankan, prediksinya itu memang ada perubahan. Hal ini saya lakukan dalam kasus banjir bandang di Luwu, Sulawesi Selatan, yang katastropik saat itu," jelas Erma.
Ia menyebut, menghangatnya suhu permukaan laut bisa memperparah kondisi cuaca karena menghasilkan kelembaban yang sangat tinggi. Dengan kelembaban yang sangat tinggi, hujan di laut tidak habis-habis, dan hujan tersebut kemudian ditransfer ke darat oleh angin.
Komite Cuaca Ekstrem
Menurutnya, pemahamanan yang lebih baik mengenai cuaca ekstrem sangat berguna untuk meningkatkan akurasi prediksi cuaca ekstrem di wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap bencana hidrometeorologi dan perubahan iklim.
Ia juga mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem untuk memitigasi dan mengantisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim.
"Di luar negeri, kita dapat mencontoh seperti di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Ekstrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM, dan relawan," kata Erma.
Tujuannya tak sekadar memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem semata, tapi juga melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik. Karena menurutnya, cuaca ekstrem berbeda dengan jenis bencana alam lain seperti gempa dan tsunami, Cuaca ekstrem adalah jenis bencana alam yang paling dinamis dan paling sering terjadi, sehingga harus terus diperbarui.
"Bahkan informasi prediksi cuaca ekstrem pun harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari, mengikuti dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu," imbuhnya.
Artikel ini telah tayang di inet.detik.com dengan judul "Bumi Mendidih, Cuaca Ekstrem Makin Parah dan Sering Terjadi"