Foto: Ahmed El Mokhallalati/via REUTERS |
Seorang relawan di RS Al Shifa Gaza menggambarkan suasana mengerikan sejak fasilitas kesehatan tersebut dikepung Israel. Dirinya berhasil keluar dari RS dengan berjalan sejauh 16 km ke Deir el-Balah. Jawdat Sami al-Madhoun nyaris tidak percaya saat akhirnya melihat gerbang Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di depan mata.
Sudah 25 hari Jawdat menjadi relawan di unit gawat darurat RS Al-Shifa, berjuang bersama staf lain untuk membantu korban cedera sebaik mungkin. Seringnya, dilakukan tanpa obat-obatan bahkan nihil perlengkapan paling dasar.
"Kami tidak dapat membantu yang terluka," katanya, dikutip dari Al Jazeera.
"Mereka sekarat! Kami tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan mereka. Kami hanya akan menyaksikan mereka mati. Ada ratusan jenazah di halaman rumah sakit. Kami bahkan tidak bisa menguburkannya."
Tak seorang pun dapat membantu pasien di RS Al-Shifa yang telah dikepung pasukan Israel sejak Jumat lalu. Mereka juga tidak diizinkan masuk atau keluar dari kompleks rumah sakit tertua dan terbesar di Gaza. Pergerakan di sana juga diawasi sniper Israel.
RS tersebut sudah kehilangan pasokan listrik sepenuhnya sejak Sabtu. Semua peralatan medis tidak bisa beroperasi, nyawa 39 bayi prematur jelas terancam lantaran inkubator berhenti berfungsi.
Sejak itu, tujuh bayi dilaporkan meninggal. Jumlah korban jiwa terus bertambah karena RS masih tutup. Staf di RS telah menguburkan setidaknya 179 mayat di halaman.
Para sniper Israel menargetkan penembakan kepada siapa pun yang bergerak.
"Saya adalah seorang sukarelawan," katanya.
"Saya akan menerima orang-orang, melakukan triase pada beberapa kasus, dan membalut siapa pun yang dapat saya bantu. Saya bukan perawat terlatih, tapi saya mempelajarinya selama sekitar satu setengah tahun, jadi saya ingin melakukan sesuatu, apa saja, untuk membantu."
"Suatu hari, empat gadis kecil yang cantik datang, yang tertua berusia sekitar 13 tahun, hanya satu dari mereka yang terluka, mereka datang bersama keluarga mereka yang telah meninggal, ayah, ibu, saudara laki-laki, kami melakukan apa yang harus kami lakukan dan menguburkan mereka," cerita Jawdat sembari tak kuat menahan tangis.
"Gadis kecil yang terluka itu menatapku dan berkata: 'Tolong, Paman, biarkan aku mati bersama mereka. Saya tidak tahu bagaimana saya akan hidup tanpa orang tua dan saudara laki-laki saya.'
Di hari lain, Jawdat menerima seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, terluka parah akibat serangan yang menewaskan keluarganya. Setiap kali anak tersebut melihatnya, dia akan meminta permohonan.
"Bisakah kamu menyembuhkan saya atau membiarkan saya pergi [mati] bersama mereka?" sebut Jawdat menirukan perkataan anak tersebut.
"Saya tidak tahu dari mana kami mendapat tenaga untuk melakukan pekerjaan ini. Tuhan pasti memberi kita semua kekuatan untuk terus maju. Para dokter bekerja dengan panik. Mereka rela bekerja selama tiga, empat hari berturut-turut tanpa tidur, melakukan apa pun asalkan bisa menyelamatkan satu anak lagi, satu orang lagi," saksinya.
"Tidak ada yang bisa kami lakukan. Seandainya kami punya peralatan sedikit pun, mungkin kami bisa membantunya, tapi kami tidak punya apa-apa, jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Dokter Tak Berdaya Selamatkan Pasien Sekarat, Halaman RS Al Shifa Penuh Mayat"