Korsel menjadi negara nomor satu termahal untuk membesarkan anak. (Foto: iStock) |
Studi terbaru mengungkapkan Korea Selatan merupakan negara termahal untuk membesarkan anak hingga usia 18 tahun. Hal tersebut juga menjelaskan alasan di balik angka kelahiran yang merosot tajam di negara tersebut.
Studi tahunan yang dilakukan oleh lembaga asal Beijing, YuWa Population Research Institute menemukan Korea Selatan adalah negara termahal untuk membesarkan anak, di mana biaya membesarkan anak mencapai 7,79 kali lebih besar dibanding produk domestik bruto (PDB) per kapita. Adapun besarannya mencapat KRW 365 juta won atau sekitar Rp 4,2 miliar. Sementara, posisi kedua ditempati oleh China, diikuti Jerman dan Prancis pada posisi ketiga dan keempat.
Namun, tingginya biaya membesarkan anak berbanding terbalik dengan angka kelahiran di negara tersebut. Tercatat, tingkat fertilitas di Korea Selatan saat ini berada di 0,78. Artinya untuk setiap 100 wanita hanya akan melahirkan 78 bayi sepanjang hidup mereka.
Angka tersebut merupakan yang terendah sejak tingkat fertilitas di Korea merosot ke 1,48 pada 2000. Padahal, di 1980 dan 1960 tingkat fertilitas di Korea mencapai 2,82 dan 5,95.
Lantas, apa yang jadi penyebab merosotnya angka kelahiran di Korea Selatan?
Media cetak lokal, Cholsun Ilbo, melaporkan pengeluaran terbesar masyarakat Korea dalam membesarkan anak yakni pada bidang pendidikan. Menurut laporan tahun 2022, masyarakat Korea tercatat menghabiskan KRW 26 triliun won (sekitar Rp 301 triliun) untuk membiayai les atau bimbingan belajar (bimbel) bagi anak-anak mereka. Artinya, dalam sebulan para orang tua mengeluarkan setidaknya KRW 524.000 won (sekitar Rp 6 juta) untuk biaya pendidikan.
"Korea adalah masyarakat yang sangat fokus pada pendidikan, dan bagi kebanyakan keluarga, pelajaran tambahan setelah jam sekolah berakhir adalah hal yang normal," ujar Han Ye-jung yang memiliki putri berusia 31 bulan, dikutip dari DW, Senin (9/10/2023).
Han mengatakan bimbel, atau yang dikenal juga dengan istilah 'hagwon' di Korea, biasanya dimulai sejak anak berusia 4 tahun. Umumnya, tempat bimbel tersebut mengajarkan bahasa Inggris sambil mengajak anak bermain.
"Ini adalah sebuah tren besar di Seoul sekarang dan banyak orang yang mengeluarkan banyak uang setiap bulannya untuk taman kanak-kanak berbahasa Inggris ini karena mereka percaya anak-anak lebih mudah mempelajari bahasa asing ketika masih kecil, dan itu adalah kemampuan penting yang harus dimiliki," tutur Han.
Han pun mengaku dirinya kerap berdiskusi soal opsi pendidikan saat berkumpul bersama teman maupun anggota keluarga. Alasan lain orang tua mengirim anak mereka mengikuti bimbel adalah agar anak mendapat pengawasan saat ibu mereka pergi bekerja.
Adapun subjek yang paling sering diajarkan di tempat bimbel adalah bahasa Inggris dan matematika. Kedua mata pelajaran itu diyakini menjadi kunci untuk bisa masuk ke sekolah menengah atas terbaik, sehingga kelak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi top dan mendapatkan pekerjaan yang bagus.
"Tempat bimbel yang baik ditambah dengan sekolah unggulan menjamin anak mendapatkan nilai yang bagus dan tempat di perguruan tinggi terbaik pula. Dan itu berarti pekerjaan yang bagus, jadi masuk ke universitas top sangat penting karena menjamin kesuksesan dalam kehidupan," ucap Han.
Ahli ekonomi dari Seoul National University, Park Saing-in, mengaku setuju dengan keputusan yang diambil mayoritas keluarga di Korea. Ia pun yakin kompetisi bisa membawa pengaruh positif bagi generasi muda.
"Dalam pikiranku, ada terlalu banyak kompetisi dalam sektor pendidikan di Korea, khususnya ketika menyangkut ujian masuk universitas. Jelas sekali kalau semakin sering anak belajar, maka semakin tinggi pula kesempatannya untuk masuk kampus yang bagus," tuturnya.
Meski begitu, tak sedikit pula yang memandang negatif terhadap fenomena bimbel yang menjamur tersebut. Mereka menganggap tempat bimbel tersebut memanfaatkan kecemasan para orang tua dan 'menghasut' mereka untuk mengeluarkan banyak uang hanya untuk memenuhi ekspektasi lingkungan sosial.
Seorang warga bernama Park berharap di masa depan Korea bisa mengurangi penekanan terhadap pendidikan dan lebih membiarkan anak bersantai menikmati masa kecil mereka.
"Mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tapi saya berharap itu sesuatu yang suatu saat nanti bisa kita lihat di masa yang akan datang. Saya percaya pendidikan itu penting dan akan membantu untuk mendapatkan kampus dan pekerjaan yang bagus. Tapi banyak orang di Korea, termasuk saya sendiri, percaya kalau menghabiskan uang untuk bimbel private ini sudah kelewat batas dan perlu diseimbangkan," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Korsel Jadi Negara Termahal di Dunia untuk Membesarkan Anak, Segini Biayanya"