Hagia Sophia

11 March 2024

Penggunaan Teknologi Modern untuk Tentukan Awal Bulan Puasa

Ilustrasi pemantauan hilal. (Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Dalam upaya menetapkan awal Ramadan, para perukyat hilal sudah dibantu oleh teknologi modern. Mereka memanfaatkan kecanggihan teleskop dan berbagai teknologi peneropongan astronomi.

Prof Dr Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sempat mengungkapkan bahwa teleskop yang dipakai sudah dilengkapi otomatisasi komputer. Dengan begitu, para perukyat bisa langsung melihat ke arah posisi bulan.

"Dulu ketika belum ada teknologi optik, yang bisa dilakukan hanya mengarahkan agar pengamat fokus melihat ke arah tertentu. Jadi itu hanya alat untuk fokus. Lalu teknologi teleskop berkembang sehingga bisa membantu apakah cahaya yang dilihat benar hilal atau bukan," kata Prof Djamal.

Kendati demikian, menggunakan teleskop pun ada tantangannya. Menurut Prof Djamal, karena fungsinya ialah mengumpulkan cahaya dan pengamatan hilal, kadang dapat terganggu oleh banyaknya cahaya yang dikumpulkan teleskop.

"Fungsi teleskop itu adalah mengumpulkan cahaya. Dengan mengumpulkan cahaya, maka objek yang redup bisa lebih jelas lagi. Tapi problem pada rukyatulhilal tidak sesederhana itu," ujarnya dalam diskusi 'Kriteria Baru MABIMS dalam Penentuan Awal Ramadan' di Gedung BJ Habibie (8/3).

Prof Djamal memperjelas, cahaya hilal memang diperkuat oleh teleskop, akan tetapi, hal itu juga berlaku kepada cahaya syafaq atau cahaya senjanya. Jadi katanya, kontras cahaya hilal yang tipis terganggu.

"Menjadi persoalan pada rukyatulhilal adalah kontras antara cahaya hilal yang sangat tipis dengan gangguan cahaya syafaq yang masih cukup terang," terangnya.

Oleh sebab itu ada kriteria tinggi minimal dan jarak elongasi atau jarak pisah Bulan dan Matahari, agar kontras antara hilal yang tipis dengan cahaya syafaq menjadi kontrasnya.

"Jadi dengan elongasi yang besar hilalnya lebih tebal, dengan ketinggian minimal sekian derajat, itu cahaya syafaqnya sudah mulai meredup," kata Prof Djamal.

Lantas mengapa tidak melakukan rukyatulhilal pada siang hari? Begini jawaban Prof Djamal.

Kenapa Nggak Rukyathilal Saat Siang Hari?

Dirinya memaparkan bahwa rukyat di siang hari itu meningkatkan kontras. Hal ini mengingat, cahaya biru dapat ditekan oleh filter inframerah, sehingga cahaya hilalnya bisa ditingkatkan.

"Tapi berbeda dengan pada saat sesudah Matahari terbenam, cahaya langit bukan biru, tapi agak kuning kemerahan sehingga tidak ada filter yang bisa digunakan untuk meningkatkan kontras saat maghrib dan Bulan sabit siang hari itu tidak dianggap sebagai hilal," papar Prof Djamal.

Menurutnya, apabila sabit siang hari dianggap hilal, maka itu dapat menimbulkan masalah dari segi fikih. Secara fikih islam, disampaikan bahwa: berpuasa lah apabila melihat hilal dan berbuka lah apabila melihat hilal.

"Kalau akhir Ramadan jam 2 siang ada orang melaporkan melihat hilal siang hari karena menggunakan filter inframerah, apakah kemudian berbuka jam 2 siang? Jadi hilal siang hari itu tidak bisa dijadikan dasar sebagai hilal penentu awal Bulan walaupun secara teknologi memungkinkan melihat Bulan sabit pada siang hari," jelasnya.


























Artikel ini telah tayang di inet.detik.com dengan judul "Mengenal Teknologi Modern untuk Tentukan Awal Ramadan"