Ilustrasi Korea Selatan (Foto: AP/Lee Jin-man) |
Makin banyak negara yang dihantui penurunan populasi karena warganya menolak untuk memiliki keturunan. Kondisi ini menyebabkan negara tersebut krisis demografis karena banyak wanita yang berhenti melahirkan.
Kondisi ini juga dialami oleh Korea Selatan. Negeri Ginseng ini hanya mencatat tingkat kesuburan 0,81 persen pada 2021 berdasarkan data pemerintah. Idealnya, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1 persen untuk menjaga populasi.
Di Korea Selatan, makin banyak anak muda yang tak mau menikah. Pun sudah berumahtangga, wanita memilih untuk tidak hamil.
Hal ini juga dialami oleh Yoo Yeung Yi (30). Neneknya punya enam anak. Ia sendiri dua bersaudara. Namun, Yoo memutuskan tidak akan memiliki anak.
"Suami saya dan saya sangat menyukai bayi... tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami membesarkan anak-anak," kata Yoo kepada AP News.
"Jadi ini menjadi masalah pilihan antara dua hal, dan kami sepakat untuk lebih fokus pada diri kami sendiri," sambungnya
Ada banyak orang seperti Yoo di Korea Selatan yang memilih untuk tidak punya anak atau tidak menikah. Negara maju lainnya memiliki tren serupa, tetapi krisis demografi Korea Selatan jauh lebih buruk.
Tidak ada angka resmi berapa banyak warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun catatan dari badan statistik nasional menunjukkan ada sekitar 193 ribu pernikahan di Korea Selatan tahun lalu, turun dari puncaknya 430 ribu pada tahun 1996. Data badan tersebut juga menunjukkan sekitar 260.600 bayi lahir di Korea Selatan tahun lalu, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada tahun 1971.
Banyak anak muda Korea Selatan mengatakan bahwa tidak seperti orang tua dan kakek neneknya, mereka tidak merasa berkewajiban untuk berkeluarga. Mereka mengutip ketidakpastian pasar kerja yang suram, harga rumah yang mahal, ketidaksetaraan gender dan sosial, tingkat mobilitas sosial yang rendah, dan biaya besar untuk membesarkan anak dalam masyarakat yang sangat kompetitif.
Perempuan juga mengeluhkan budaya patriarkal yang memaksa mereka melakukan banyak pengasuhan anak sambil menanggung diskriminasi di tempat kerja.
"Singkatnya, orang mengira negara kita bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali," kata Lee So-Young, pakar kebijakan kependudukan di Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial di Korea Selatan.
"Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, jadi mempertanyakan mengapa mereka harus bersusah payah untuk memiliki bayi,"ucapnya lagi.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Resesi Seks Hantui Korsel: Warga Tak Mau Kawin, Wanita Ogah Hamil"