 |
| Ilustrasi sampel. (Foto: Getty Images/iStockphoto/ktsimage) |
Genomic sequencing merupakan teknologi yang bisa melihat karakteristik pada kuman atau penyakit, tumbuhan, hingga manusia. Pada kasus penyakit menular COVID-19 misalnya, digunakan melihat jenis varian virus dengan seberapa tinggi risiko penularannya.
Kemudian, pada manusia, bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi dini penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, stroke. Jika teridentifikasi lebih awal, peluang kesembuhan otomatis lebih tinggi.
Sayangnya, isu yang berkembang kerap mengaitkan kemungkinan pengambilan data genomik melalui teknologi sebagai senjata biologis alias disalahgunakan. Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo menyebut hal itu nyaris mustahil terjadi.
Ada sejumlah penilaian yang merujuk beberapa hasil studi. Disebutkan, untuk membentuk suatu genomik sebagai senjata biologis sedikitnya diperlukan tiga hal. Susunan informasi genome yang dipilih untuk dipersenjatai, disalin kemudian dikirim ke 'musuh', sampai melihat seberapa presisi rekayasa genome yang dibuat.
"Dari sini kita lihat tahapannya cukup panjang, bahwa kalau kita punya genome itu tidak serta merta bisa dijadikan senjata, tetapi harus dibaca dulu," kata Ahmad dalam keterangannya, dikonfirmasi detikcom Jumat (23/6/2023).
"Yang saat ini kita bisa lakukan itu baru membacanya dulu, nanti setelah kita baca baru kita ambil yang menarik utk dipersenjatai kan? Harus ditulis dan tentu tulisan itu dikirim. Cuma pertanyaannya apakah kita sudah mencapai teknologi itu?"
Ahmad menyebut Indonesia maupun hampir seluruh dunia masih mempelajari teknologi gene editing.
"Katakanlah suatu penyakit ada thalasemia, kita bisa baca ada mutasinya itu lalu kita akan tulis versi normalnya, ini kita pastikan bisa edit, berarti susunan yang sudah diedit itu harus kita kirim, hanya saja gene editing saat ini di Indonesia bahkan di dunia masih dipelajari."
Ahmad menjelaskan, saat ini perubahan baru bisa dilakukan sejumlah pihak di masa embrio lantaran 'delivery' yang dibuat sedemikian rupa harus tersampaikan sangat awal. Bukan tanpa sebab, hal ini bertujuan untuk melihat ketika embrio berkembang, benar-benar menjadi objek yang sudah diedit.
"Di China sih sudah dilakukan, dan itu menjadi kontroversi juga ya mengenai human gene editing, tapi ini kalau mau dipersenjatai, tentu kita ada masalah di delivery, bagaimana kita bisa mendelivery ke suku-suku, orang tertentu, gitu ya kan?"
Persoalan lain yang disinggung Ahmad yakni terkait presisi. Seberapa presisi ilmuwan bisa menciptakan senjata biologis yang dikhususkan untuk sekelompok orang, atau negara tertentu.
Pasalnya, data genomik antarsuku saja tidak sama persis. Selama ini peneliti hanya bisa menyimpulkan gambaran dari suku A, B, C, dan Z, secara umum.
"Kita tidak bisa mengatakan secara spesifik genetik ini suku A, X, Y, dan Z," tegas dia.
"Kalau misalnya kita memiliki profil suku A, B, C, hanya ada kemungkinan besar penilaian suku ini sekian persen, yang lain sekian persen," terang Ahmad.
Apalagi jika dibandingkan dengan warga negara Indonesia yang memiliki 1.340 suku.
"Jadi keragaman dari sequence genome sequencing kita itu justru mempersulit dari munculnya senjata biologis yang berbasis genome," sambung dia.
Jika senjata biologis dibuat dari kuman, Ahmad menilai kemungkinan keberhasilannya relatif sangat kecil. Disebut tidak efisien lantaran jenis genomik manusia sangat beragam sehingga tidak bisa 'dimusnahkan' hanya dengan satu macam kuman atau penyakit.
"Sehingga akan sulit sekali, kalaupun dia direkayasa," terang Ahmad.
"Tapi yang menarik justru adalah genomik tanaman, mengapa? Karena genomik tanaman ini terutama tanaman atau kultivar yang sudah murni di mana dia diseleksi, genomenya cenderung sangat seragam, sangat homogen, dan itu sangat mudah untuk direplikasi," lanjut dia.
Lantas, ketika ada perusahaan atau individu yang menemukan kultivar sangat mulia, dengan kondisi buah yang amat bagus, tentu akan diproteksi.
"Jelas akan ada dampak dari sisi ekonominya, tapi bukan sebagai senjata biologis tentunya," sambungnya.
Masyarakat dinilai tidak perlu khawatir dengan narasi berlebihan terkait senjata biologis dari teknologi genome sequencing. Dalam setiap pengembangan teknologi, tentu ada dua niat di baliknya yakni jahat dan baik. Indonesia malah disebutnya perlu ikut mempelajari teknologi tersebut demi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa dilakukan para peneliti yang sengaja menyalahgunakan ilmunya.
"Ya tentu bangsa Indonesia harus menguasai ilmu ini sehingga kita bisa mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi," pesan dia.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Pakar Biologi Molekuler RI Soroti Tudingan Data Genomik Jadi Senjata Biologis"